Judul: Leaving Microsoft to Change The Work, Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3.600 Perpustakaan di Asia
Penulis: John Wood
Penerjemah: Widi Nugroho
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: Agustus 2007
Tebal: 367 halaman
"ORANG yang mati kaya akan mati dengan rasa malu," kata industrialis baja legendaris Amerika Andrew Carnegie.
Orang mengenal Carnegie sebagai seorang dermawan. Tetapi ia hanyalah satu di antara ribuan dermawan di Amerika, yang memang dikenal sebagai gudangnya kaum filantrop, termasuk yang punya pandangan aneh dan tingkah nyleneh. Sebagai superstar kaum dermawan, kita mengenal Bill Gates dan George Soros. Anda mungkin juga kenal nama Chuck Feeney, seorang dermawan yang memberikan bantuan secara diam-diam, misterius dan menjauhi publikasi. Miliaran dolar kekayaannya disumbangkan untuk kaum miskin, dan hanya disisakan 1,5 juta dolar untuk diri sendiri. Setelah hampir 20 tahun, rahasianya bocor dan kisahnya dibukukan tahun ini: The Billionaire Who Wasn't: How Chuck Feeney Secretly Made and Gave Away a Fortune.
Mengapa orang Amerika suka berderma? Dalam The Greater Good: How Philanthropy Drives the American Economy and Can Save Capitalism, Claire Gaudiasi menuturkan orang-orang Amerika bisa kaya raya karena banyak berderma. Bukan sebaliknya, mereka suka berderma karena kaya. Para penderma tersebut melakukan itu untuk tujuan hidup yang lebih baik bagi orang lain, tidak hanya untuk diri sendiri.
Membantu Orang Lain
Banyak kisah menarik tentang orang-orang dermawan. Tetapi kisah John Wood di buku ini jelas tergolong istimewa. Bagaimana tidak? Sebagai seorang eksekutif di Microsoft, perusahaan komputer ternama di dunia, gajinya besar. Usianya baru sekitar 30 tahun. Tetapi semua itu ditinggalkan setelah terguncang hatinya menyaksikan ratusan anak sekolah di Nepal yang belajar tanpa buku-buku memadai. Tidak hanya jabatan dan gaji besar yang ditinggalkan. Ia juga terpaksa berpisah dengan pacar karena perempuan yang menarik hatinya itu tidak sepakat dengan rencana "aneh": membantu mendirikan perpustakaan di sekolah-sekolah Nepal.
Perubahan kehidupan John Wood sungguh radikal. Selama tujuh tahun ia bekerja gila-gilaan di Microsoft, selalu mengejar karier dan gaji tinggi, praktis tidak pernah libur. Sampai pada satu saat ia berpikir: "Apakah cuma ini yang ada --jam-jam panjang dan gaji lebih besar? Saya telah menjalani gaya hidup komando seorang prajurit korporat. Liburan hanyalah bagi orang-orang yang lemah. Para pemain sejati bekerja pada akhir pekan, terbang ratusan ribu mil dan membangun kerajaan-kerajaan mini di dalam sebuah patung raksasa global yang disebut Microsoft. Para pengeluh adalah mereka yang tidak peduli dengan masa depan perusahaan."
Kehidupannya berubah total setelah akhirnya ia bisa mengambil cuti dan pergi ke Nepal, berjalan kaki menyusuri desa-desa terpencil di kawasan Himalaya. Saat mampir di sebuah SD di Desa Bahundanda, ia menyaksikan sekitar 450 siswa sekolah tanpa buku. Ia sedih luar biasa. "Empat ratus lima puluh murid tanpa buku. Bagaimana hal ini bisa terjadi di sebuah dunia dengan buku-buku yang melimpah?" tulisnya.
Ia membayangkan masa kecilnya di Amerika. Meskipun keluarganya tidak kaya, ia bisa menikmati buku-buku melimpah di perpustakaan. Apalagi ia termasuk rajin ke perpustakaan hingga diizinkan pinjam buku lebih dari ketentuan.
Hatinya makin galau ketika menerima tagihan untuk penginapannya, yang dinilainya sangat kecil. "Saya merasa bersalah karena jumlahnya. Saya mendapat tempat tidur, bir, makan malam, makan pagi, dan bercangkir-cangkir susu yang tak terbatas. Hanya lima dolar. Memberikan tip dianggap suatu penghinaan," katanya pula.
Memberi Bea Siswa
Dalam perjalanannnya ke Nepal itu, kebetulan ia sedang membaca buku karya Dalai Lama, The Art of Happiness. Pemimpin Tibet dalam pengasingan itu antara lain mengatakan bahwa salah satu kewajiban utama kita adalah mencari orang-orang yang tidak mampu dan mengeluarkan mereka dari siklus kemiskinan.
Keluar dari desa terpencil itu, John Wood tidak membuang waktu. Ia langsung mengirim pesan ke semua kenalannya yang namanya tertulis di laptop. Ia minta bantuan buku-buku untuk dikirimkan ke Nepal. Ia pun mendirikan lembaga Books for Nepal, kemudian berganti Room to Read, yang memberikan bantuan dana dan buku-buku untuk perpustakaan sekolah.
Tidak mudah memang, termasuk ketika ia akan pamit pada atasannya untuk keluar dari Microsoft, pacar, dan kawan-kawannya. Semua terkejut, tetapi John Wood sudah bulat tekadnya. Dengan dukungan kawan-kawan dan sahabatnya, Room to Read menjadi lembaga makin maju. Operasinya pun melebar di luar Nepal, ke Sri Lanka, India, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Ribuan perpustakaan telah dibangun, jutaan dolar disebarkan untuk mendirikan sekolah, laboratorium komputer dan bahasa, serta bea siswa di kawasan miskin.
Buku yang enak diikuti ini adalah kisah yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Buku tentang kekuatan jaringan persahabatan, orang-orang optimistis di tengah konflik dan perang, dan mereka yang tidak hanya mengeluh tetapi berbuat sesuatu untuk menjadikan dunia lebih baik. Banyak pandangan penulisnya yang sangat menggugah kesadaran kita.
"Tidaklah penting jika kita memiliki kekayaan materi. Apa yang sesungguhnya penting adalah --apa yang kita lakukan dengan kekayaan itu?" begitu ia menulis dalam catatan harian.
Ia pun melanjutkan: "Saya telah mencapai kesuksesan finansial pada usia muda, tetapi itu sebagian besar karena keberuntungan saya. Saya kebetulan bergabung dengan perusahaan yang tepat pada saat yang tepat. Fakta bahwa apa saya mempunyai uang tidak menjadikan saya orang yang lebih baik. Yang sungguh-sungguh penting adalah apa yang saya lakukan dengan uang itu."
Apa yang dirasakan sebagai kenikmatan bagi John Wood adalah ketika mendengar kemajuan anak-anak sekolah yang dibantu. Seperti Nguyen Thai Vu, anak cerdas dari Vietnam, murid pertama yang dibantunya. Diawali dengan beasiswa 20 dolar pada 1997, Vu dapat mengembangkan diri dalam studinya. Ia kemudian bisa lancar tiga bahasa asing, belajar di universitas, dan meraih gelar sarjana dalam piranti lunak. Istri Vu seorang perawat yang membantu kaum miskin pedesaan, dan anak perempuannya akan memperoleh manfaat karena orangtuanya yang berpendidikan baik.
Ia membayangkan, kalau Vu bisa membuat kemajuan dalam delapan tahun, apa yang mungkin terjadi pada hampir satu juta murid yang sekarang belajar di sekolah-sekolah yang dibantunya? Yang bersemangat melahap buku-buku di perpustakaannya?
Ia pun mengutip kata-kata John Wolfgang von Goethe yang menulis tentang Simponi Kelima Beethoven. "Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, planet bumi ini akan lepas dari porosnya."
Sebuah buku yang mengaduk-aduk perasaan. Saya membayangkan, satu persen saja kaum dermawan melakukan hal yang sama seperti John Wood, wajah negeri ini akan sangat lain dalam 10 atau 20 tahun mendatang.
oleh Djoko Pitono, diambil dari Suara Merdeka Cyber News, 22-10-2007