Kamis, 24 Juni 2010

Buku bukanlah guru saat kita bukanlah murid

Barangkali sudah sangat biasa kita mendengar orang berkata bahwa buku adalah guru yang baik, yang tak bisa marah pada muridnya. Buku sebagai guru, bagi saya adalah ungkapan tak memiliki makna, kosong, dan malah menjadikan buku seperti mahluk yang kolot karena asosiasi kita pada sosok guru yang terlalu normatif dan selalu ingin menegakkan aturan sekolah. Meskipun, makna guru sejatinya tidaklah seburuk itu, itu hanya berlaku bagi guru sebagai sebuah profesi, sebuah pekerjaan yang dilembagakan bersama yang namanya sekolah. Sekolah pun sejatinya tidak perlu dipandang sebagai institusi pula, sebab kalau demikian yang terjadi, kita hanya akan berada jauh di belakang.


Buku hanya akan jadi guru bagi mereka yang bersedia menjadi murid. Sebagaimana alam akan jadi guru untuk para manusia yang mengambil hikmah/pelajaran darinya. Dan, tak setiap makna di dalam buku sama adanya dengan yang kita tangkap dari pembacaan. Kesediaan kita menjadi murid dari buku tidaklah sama dengan transfer pengetahuan. Murid belajar bukan untuk meniru gurunya, bukan untuk menjadi bayangan dari gurunya, bukan untuk mewarisi ilmu. Murid haruslah seorang manusia bebas yang berkembang dari kreativitas. Makna murid di sini bukan murid dalam pengertian umum, melainkan murid dalam makna penulis sendiri.


Menjadi murid jauh lebih penting daripada kehadiran fisik guru, buku, ataupun gedung-gedung sekolah megah yang didirikan dengan uang pajak. Makna menjadi murid bisa jadi adalah hal yang mungkin terlalu filosofis, berada di ranah kesadaran. Namun, sejatinya pembahasan menjadi murid jauh lebih memiliki arti daripada menjadi guru. Kalaupun di dunia ini banyak profesor, doktor, ahli, dll, semua itu hanyalah sebuah "kepemilikan pribadi" atas ilmu. Bahkan, sekalipun mereka telah menuliskannya di dalam berton-ton kertas, kita masih hanya menyaksikan guru-guru sebagai benda.


Sebenarnya, hal itu juga masih banyak terjadi dalam lingkungan sekolah kita. Tak banyak pandangan filosofis mengenai guru yang bisa mengubah guru-guru tetap sebagai benda, sebagai pekerja, sebagai manusia-manusia layaknya sekian juta manusia lainnya. Kita akan jadi lebih menghargai guru jika kita MERASA menjadi murid. Merasa menjadi murid bukanlah dalam pengertian sesedehana seorang berseragam dan menyalin pelajaran, atau sekadar mencari nilai. Merasa jadi murid adalah semacam spirit untuk mengetahui, mempelajari, memaknai. Dan, dalam pikiran penulis, menjadi murid adalah "tidak mengerti" untuk menjadi "memberi pengertian". Dalam konteks bahasan penulis, buku diletakkan sejajar dengan benda-benda. Karena, benda semacam batu pun telah terbukti menjadi sumber pengetahuan yang sangat berguna bagi umat manusia.


Bersambung, akan dilanjutkan apabila ada kesempatan lagi ....




Kesediaan kita sebagai muridlah yang membuat benda-benda seperti buku menjadi guru. Namun, kesediaan itu tidaklah mudah diperoleh. Bahkan, bagi mereka yang telah mengalami tahun-tahun yang panjang di bangku sekolah, menjadi murid tidaklah memiliki makna lebih daripada sekadar intervensi yang harus diterima dari otoritas sekolah. Karena itu, banyak dari mereka tidaklah belajar, hanya menuntaskan tugas seorang murid dalam pengertian umum. Murid dalam pengertian umum hanyalah benda-benda.

Dengan menjadi murid, dalam pengertian yang lain atau yang saya maksud dalam tulisan ini, adalah jalan untuk membongkar peran angker sekolah dalam pembangunan. Saya sebenarnya amat jengah dengan pemujaan atas peran sekolah, yang hanya sebagai sebuah tren. Bagi seorang murid, sekolah hanyalah sekat yang membatasi dunia dengan dirinya. Mengapakah kita harus menerima hal-hal yang ada ini sebagai biasa dan normal, sedangkan segala sesuatu tidak ada yang aneh?

Banyak manusia di dunia ini yang sebenarnya sudah memberi contoh mengenai menjadi murid itu. Carilah, karena pencarian itu penting.

(Orang asing di surga)








Senin, 21 Juni 2010

satu minggu yang berbuku-buku (Workshop Bersama Jaringan 1001 Buku)

 Hai, kawan! Sudah baca buku apa hari ini?

Kami, pada Minggu 20 Juni 2010 sudah ikut kegiatan workshop yang diadakan oleh jaringan perpustakaan anak 1001 Buku di Jakarta. Hari itu, mereka membagi ilmu tentang pengelolaan taman bacaan. Ada banyak pengetahuan yang mungkin bisa kami terapkan di Pustaka Kampung. Ada mas Gendon dari sebuah taman bacaan di lereng Merapi, Magelang, yang membagi pengalamannya mengelola taman bacaan gratis. Menarik sekali, mereka menggunakan sistem pelayanan terbuka 24 jam tanpa penjaga. Padahal, taman bacaan itu terletak terpisah dari rumah penduduk dan ruangnya benar-benar terbuka karena meminimalisir dinding. Kejujuran sangat diutamakan dan telah jadi praktik hidup masyarakat di sana. Mengagumkan. Kalau hal seperti itu diterapkan di Pustaka Kampung, bagaimana ya hasilnya? Mungkin, dalam beberapa bulan sudah akan terlihat hasilnya. Buku-buku habis, meja hilang, karpet pindah tangan... huuuu... ya belum tentu dong. 

Tapi, kami bisa belajar bagaimana merancang fleksibilitas pengelolaan taman bacaan. Ini mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki Pustaka Kampung sendiri. Setelah beberapa pengelolanya hengkang ke jagad antah berantah, saat ini diperlukan orang-orang selayaknya Spiderman, yang siap menolong apabila ada cewek can... eh, maaf salah... orang yang siap membantu anak-anak dalam memenuhi kebutuhan membaca buku. Namun begitu, kawan-kawan di Code Utara tak perlu lagi mengharapkan bantuan tenaga dari luar, karena sebenarnya anak-anak di Code pun bisa menjadi pengurus. Bayangkan, Pandu yang kutu buku pasti senang menjadi penjaga di sana ditemani Bayu, Sevia, Fikri, dan kawan-kawan yang lain. Yak, ini sudah lama kami pikirkan, bahwa anak-anak perlu difasilitasi untuk jadi Pustakawan Kecil. Sudah saatnya anak-anak membuat perubahan!!

Oke, baru ini yang bisa kami tulis, lain kali akan kami tuliskan tulisan yang lain dari tulisan yang kami tulis ini!!! He he he he


Senin, 14 Juni 2010

Hai... apa yang kau baca hari ini? Ayo, ceritakan padaku?


selamat malam...
Hai... apa yang kau baca hari ini? Ayo, ceritakan padaku?

Hmm... mungkin saya, saudara, dan kawan-kawan tidak pernah bertanya hal-hal seperti itu pada anak-anak, pada remaja, atau bahkan pada teman sendiri. Kita barangkali enggan menggunakan sapaan yang mengandung kata buku di dalamnya karena sadar diri kita sendiri tidak membaca buku. Tapi, sekali kita mencobanya, kita telah membuka dua kunci sekaligus. Tidak percaya? Cobalah bertanya pada anak kecil. Kalau mereka tidak membaca buku hari ini, besok mereka yang terngiang dengan sapaan kita, akan memikirkan mengenai buku dan berusaha sekali dua kali membukanya. Sedangkan kita, yang menyapa demikian meski kita tidak membaca, akan terngiang pula dengan sapaan jenis baru yang kita buat. Karena hal baru, kita akan lebih mudah mengingatnya. Dan, kata buku bisa memicu kita untuk, setidaknya menyentuh buku, membolak-baliknya, dan semoga mulai membaca, setidaknya judul...

Heh... Itu barangkali langkah sederhana, sangat sederhana, untuk memicu dan memacu orang lain, terutama anak-anak untuk mulai mengakrabi buku. Namun, disamping dengan pancingan sapaan tersebut, kita juga mesti menyediakan buku di sekitar kita, di sekitar anak-anak, agar mereka tidak asing dengan benda "buku" itu. Yak, buku-buku cerita, komik, buku bergambar, majalah anak, bisa jadi saluran yang baik bagi anak bertumbuh dalam kultur baru yang lebih sehat dan cerdas. Kita tidak tahu tantangan apa di masa depan, tapi kita bisa sejak dini mempersiapkan diri dengan pengetahuan. Itu praktisnya. Saya sendiri, memandang buku dan membaca bukan untuk menghadapi masa depan. Rugi. Kenapa? Karena kitalah yang akan membentuk masa depan. Jadi, membaca adalah salah satu cara untuk membentuk masa depan kita sendiri, karena kita mesti hidup di bawah kendali kesadaran pribadi, bukan untuk dikendalikan orang lain.

Selamat berubah...

salam pustaka code!!